BAHAS — Ketika One Piece pertama kali terbit pada 1997, tak banyak yang menyangka bahwa manga ciptaan Eiichiro Oda ini akan tumbuh menjadi salah satu karya budaya pop paling monumental abad ke-21.
Lebih dari sekadar kisah petualangan bajak laut, One Piece adalah narasi panjang tentang impian, persahabatan, dan perjuangan menentang ketidakadilan — dikemas dalam dunia fantasi yang begitu luas dan kaya akan filosofi kehidupan.
Dengan penjualan melampaui 500 juta eksemplar secara global dan puluhan penghargaan industri, One Piece tidak hanya mencatatkan rekor sebagai manga terlaris sepanjang masa, tetapi juga mempertegas posisinya sebagai fenomena lintas generasi yang terus hidup di hati jutaan pembacanya selama lebih dari dua dekade.
Namun, apa sebenarnya yang menjadikan One Piece begitu abadi dan disanjung bukan hanya sebagai karya fiksi, tetapi juga sebagai cerminan realitas sosial?
Dunia Fiksi yang Lebih Hidup daripada Kenyataan
Di balik kesan “bajak laut karet” yang melekat pada protagonis Monkey D. Luffy, terhampar dunia One Piece yang dibangun dengan kecermatan luar biasa.
Konsep world-building Oda bukan sekadar dekorasi naratif, melainkan konstruksi dunia alternatif yang kompleks: dari sistem politik dan ekonomi, konflik antarbangsa, hingga isu sosial dan rasial yang mencerminkan problematika nyata masyarakat global.
