BAHAS – Penyelenggara Negara diwajibkan secara hukum untuk melaporkan seluruh harta kekayaan, tidak hanya milik pribadi, tetapi juga milik suami/istri dan anak-anak yang menjadi tanggungan.
Aturan ini menjadi bagian dari upaya pencegahan praktik korupsi dan wujud transparansi publik agar pejabat negara menjalankan amanah dengan bersih.
Kewajiban Penyelenggara Negara untuk melaporkan harta kekayaan diatur secara tegas dalam berbagai regulasi. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menegaskan bahwa pejabat publik harus melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat.
Ketentuan ini termaktub dalam Pasal 5 dan Pasal 20, yang menjadi pijakan dasar dalam praktik transparansi aset pejabat negara.
Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1999 pada Pasal 2 ayat (1) mengatur tata cara pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara. Setiap pejabat wajib melaporkan jumlah dan jenis harta kekayaannya kepada Komisi Pemeriksa sebelum memangku jabatan maupun setelah mengakhiri masa jabatan. Laporan tersebut juga harus diumumkan melalui Tambahan Berita Negara Republik Indonesia sebagai bentuk keterbukaan publik.
Definisi harta kekayaan dalam regulasi tersebut mencakup harta bergerak, tidak bergerak, maupun hak-hak lain yang dimiliki, tanpa membedakan atas nama siapa aset tersebut terdaftar. Dengan kata lain, jika harta tercatat atas nama pasangan atau anak tanggungan, tetap menjadi kewajiban untuk dilaporkan.
KPK melalui Peraturan Nomor 07 Tahun 2016 mempertegas aturan ini. Pada Pasal 1 angka 7 dan 8, disebutkan bahwa harta kekayaan yang wajib dilaporkan meliputi milik pribadi Penyelenggara Negara, pasangan, serta anak tanggungan. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) harus disampaikan pada saat pertama kali pengangkatan, ketika berakhir masa jabatan, saat diangkat kembali, maupun selama masih aktif menjabat.
Konsekuensi ketidakpatuhan terhadap kewajiban ini juga tidak ringan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2017, Penyelenggara Negara yang tidak menyampaikan LHKPN dapat dijatuhi hukuman disiplin. Sanksi tersebut bahkan berpengaruh terhadap pertimbangan promosi jabatan.
Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 secara jelas menyebut bahwa tidak melaporkan harta kekayaan termasuk pelanggaran disiplin sedang. Hukuman yang dijatuhkan berupa pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25% selama periode tertentu, yakni 6, 9, atau 12 bulan.
Tidak hanya itu, di beberapa kementerian seperti Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, aturan lebih keras diberlakukan. Penyelenggara Negara yang abai melaporkan LHKPN dapat dikenai sanksi disiplin berat berupa penurunan pangkat selama tiga tahun atau pembebasan dari jabatan, sebagaimana diatur dalam Permendes Nomor 10 Tahun 2017.
Selain sanksi administratif, KPK juga berwenang menindaklanjuti ketidakpatuhan dalam pelaporan ini. Ketidakjelasan atau kelalaian dalam laporan LHKPN dapat menjadi dasar pemeriksaan lebih lanjut. Hal ini membuka kemungkinan pejabat terkait berhadapan dengan konsekuensi etik maupun proses hukum jika ditemukan indikasi pelanggaran serius.
Dengan kewajiban yang diatur secara ketat melalui berbagai regulasi, Penyelenggara Negara dituntut untuk menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas. Melaporkan seluruh harta kekayaan, termasuk milik keluarga, bukan sekadar formalitas administrasi, tetapi bagian dari upaya membangun kepercayaan publik dan mencegah praktik korupsi. Kepatuhan pada aturan ini akan menjadi tolok ukur integritas pejabat negara dalam menjalankan amanah rakyat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita BAHAS ID WhatsApp Channel Disini. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.